Prof Drs Pawito PhD Profesor komunikasi yang mantan koki

Posted on Updated on

Seperti filosofi tanaman padi, makin berisi makin merunduk,
demikian pula sosok Pawito. Guru besar Teori Komunikasi Universitas
Sebelas Maret (UNS) ini dikenal sebagai pribadi yang kalem dan sederhana.

Barangkali karena pembawaannya yang demikian, nama Pawito memang tak
terlalu nyaring terdengar. Bahkan di kalangan para akedemisi sekali pun.

Padahal, alur pemikiran kritisnya yang menyebar di sejumlah jurnal
nasional maupun internasional banyak dikutip dan dijadikan referensi.
Salah satunya menyoal media massa, globalisasi dan identitas nasional
dalam konteks Indonesia yang juga menjadi pidato pengukuhan guru
besarnya, 7 Januari lalu.

Tak hanya pemikirannya saja, romantika perjuangan hidup lelaki kelahiran
56 tahun ini juga patut menjadi teladan. Jangan salah, debut karier
Pawito justru di dapur geladak kapal besar salah satu perusahaan joint
venture yang bergerak dalam bidang perkapalan. Profesi yang sama sekali
tak simetris dengan dunia yang digelutinya sekarang.

?Setamat SMA, saya malah jadi juru masak masakan Jepang karena tak ada
biaya untuk kuliah,? ungkap bapak tiga orang anak ini sembari sedikit
melonggarkan simpul dasinya, saat ditemui Espos di ruang kerjanya,
Jurusan Komunikasi Pascasarjana, Gedung I FISIP UNS, akhir bulan lalu.

Wartawan dan novelis

Pandangannya menerawang ke langit-langit. Air mukanya sesaat berubah
nelangsa. Menunjukkan betapa remuk redamnya perasaan Pawito kala itu.
Kepedihan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Palimin dan Parti
ini memang sangat beralasan. Sebab, impiannya setamat SMA adalah kuliah
di Jurusan Publisistik. Setelah lulus, dia ingin jadi wartawan atau novelis.

Dua profesi itulah yang terus melindap-lindap di benak Pawito muda.
Baginya, wartawan adalah profesi istimewa. Tahu sisi-sisi lain dunia,
mahir menganalisis persoalan umat manusia, lalu menjadi jembatan untuk
menemukan solusi sekaligus mengingatkan manusia setelah dituangkan dalam
berita.

Novelis juga begitu. Bedanya menurut Pawito, artikulasi proses
pengendapan pikiran dalam tulisan lebih bebas. Setting, tokoh, alur
cerita bisa dari manapun. ?Istilahnya kalau novel, sepi yang berbicara.
Mengungkapkan kejadian yang tak sempat disuarakan,? terang lelaki yang
gemar olah raga renang ini.

Itu sebabnya, di bangku SMA, Pawito remaja getol menulis. Ia begitu
menikmati memilih diksi dan merangkainya menjadi puisi maupun mengolah
pengalaman menjadi cerita pendek (Cerpen) dengan genre favoritnya
seputar remaja, persahabatan berbumbu komedi.

Sama halnya ia menikmati pekerjaan menjadi koki masakan Jepang meskipun
pada awalnya dijalani dengan berat hati. Aroma masakan khas Jepang
seperti sushi dan sukiyaki pun seolah berdamai dengan kelenjar
penciumannya. Hembusan angin laut dan deburan ombak tatkala mengarungi
samudra rupanya cukup ampuh meredam gejolak hati Pawito.

Sampai kemudian pada tahun 1977, kecelakaan membuatnya harus menyudahi
profesinya sebagai koki yang telah dijalani selama kurang lebih empat
tahun dan memberikan pengalaman berharga, betapa hidup harus terus
bersemangat. ?Saya terjatuh dari sepeda motor karena terserempet bemo
saat di Jakarta. Bagian tulang pinggul saya ada yang retak. Makanya
sampai sekarang kalau berjalan jadi agak bergaya,? kenangnya sambil
mengulum senyum.

Namun hikmahnya, sejak berhenti bekerja sebagai koki, gairahnya menulis
seolah kembali berada di kulminasi zenit. Dengan nama pena Nursanjaya
WP, Warih Sanjaya maupun Nursan WP, sejumlah Cerpennya kemudian kerap
menghiasi beberapa koran mingguan kala itu, yakni Swadesi dan Simponi.
Serta beberapa majalah remaja seperti Aneka Ria Film dan Gadis. Honornya
pun terbilang lumayan, mulai dari Rp 7.500 sampai dengan Rp 12.500.
?Dulu pakai nama pena karena nama Pawito kurang genit,? ungkapnya
sembari sedikit terkekeh.

Sejak itu pula, bayangan BM Diah, Rosihan Anwar, Adam Malik yang
notabene adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang reporter dan menjadi
idola Pawito seakan timbul tenggelam berkelebat di pikirannya, kian
memompa geloranya lagi untuk menulis dan kuliah. Beruntung, kemantapan
niatnya untuk melanjutkan kuliah terbayar kontan. Pawito diterima di
Jurusan Publisistik FISIP UNS seperti impiannya sejak SMA. Meskipun,
satu masalah tetap harus dihadapi: dana kuliah yang terbatas.

Tetapi, kala itu, Pawito yakin hasil dari tulisannya cukup untuk menutup
kekurangan uang saku. Pawito pun lantas kian rajin mengirimkan artikel
ke sejumlah koran. Pawito ingat artikel pertamanya yang dimuat di Koran
Merdeka diganjar Rp 17.500. Bahkan tulisannya yang sempat dimuat tiga
kali berturut-turut secara bersambung berjudul Sendi-sendi pergolakan di
Iran menjelang akhir dekade 1970-an mendapatkan honor Rp 22.500. ?Saya
sangat bersyukur, itu honor tertinggi yang saya dapat kala itu. Sebab,
biaya hidup sebulan masih Rp 10.000,? terangnya.

Angon kambing

Rasa syukur yang dirasa Pawito itu sepadan dengan yang dirasa dia di
masa kecilnya. Pasalnya kala itu, dia bisa angon wedus dan ngarit
?mencari rumput?sepulang sekolah. Menurut Pawito pekerjaan itulah yang
dilakukan kebanyakan nabi zaman dahulu.

Setamat S1, barulah karier Pawito berjalan mulus. Meskipun, impiannya
menjadi wartawan kandas. ?Saya sempat melamar untuk menjadi wartawan di
Harian Kompas tetapi tak diterima,?ujarnya.

Sejak lulus dari sarjana muda, Pawito sudah bekerja sebagai juru
penerangan. Baru pada 1983 setelah menuntaskan S1, Pawito mengundurkan
diri dari Dinas penerangan dan memilih mengajar di almamaternya.
Cita-cita yang sempat bersarang di pikiran Pawito saat duduk di kelas IV
SD karena sang guru begitu kreatif dalam mengajar. Yakni mengemas materi
menjadi tembang sehingga mudah dihafal.

Tiga tahun mengajar, Pawito lalu diangkat menjadi pegawai negeri sipil
(PNS). Lantas, pada 1998, Pawito meraih beasiswa belajar di Negeri
Kanguru untuk meraih gelar master dan doktornya sekaligus.

Menurut Pawito meskipun dengan disiplin ilmu yang berbeda, pada dasarnya
baik wartawan, novelis ataupun dosen punya tanggung jawab yang sama.
?Secara etika dan moral sama-sama bertanggung jawab kepada masyarakat
yang menaruh kepercayaan kepadanya. Selain juga tanggung jawab kepada
Sang Pencipta. Sama juga menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Sehingga jangan sampai melacurkan diri,? tandasnya. – Oleh : *Fetty
Permatasari, Esmasari Widyaningtyas*

Biodata
Prof Drs Pawito PhD

Nama : Prof Drs Pawito PhD
Lahir : Solo, 5 Agustus 1954
Alamat : Candirejo RT 1/RW I, Kelurahan Dukuh, Banyudono, Boyolali

Keluarga

Istri : Mutoyinah, SPd

Anak : Lukman Nusa, Duryatin Amal, Arifah Qudsiyah.

Pendidikan

1. SD Negeri 2 Pengging lulus 1966

2. SMP Negeri 1 Banyudono lulus 1969

3. SMA Kanisius Petang, Solo lulus 1972

4. S1 Jurusan Publisistik Universitas

Sebelas Maret (UNS) lulus 1983

5. MA leading to PhD, School of Desaign, Communication and Information
Technology The University of Newacastle Australia lulus 2004

Pekerjaan

1. Juru masak pada perusahaan joint venture perkapalan 1973-1977

2. Juru penerangan di Dinas Penerangan Boyolali 1981-1983

3. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS 1985-sekarang

Karya tulis

1. Penelitian Komunikasi Kualitatif, 2007, LKis Yogyakarta

2. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, 2009,
Jalasutra Yogyakarta.

Konsisten mengedukasi penyikapan atas globalisasi

Globalisasi harus dipandang secara fair agar tidak menumbuhkan rasa
frustrasi. Kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah harus mewujudkan
keharmonisan enam komponen, yakni media massa, perusahaan-perusahaan
transnasional, organisasi-organisasi internasional, pemerintah,
masyarakat ?baik kelompok elite maupun nonelite, lembaga pendidikan dan
lembaga swadaya masyarakat.

Gerakan budaya terutama dalam dimensi mentalitas, juga harus terus
digeber baik oleh pemerintah maupun media massa. Tak terkecuali,
apresiasi yang tinggi terhadap budaya lokal.

Begitulah sejumput pergumulan pemikiran Pawito menyikapi plus minus
globalisasi yang belakangan banyak ia tularkan lewat tulisan-tulisannya
dan forum-forum ilmiah yang melibatkannya. ?Konkretnya, saya ingin terus
meyakinkan masyarakat, betapa pentingnya komunikasi menghadapi
globalisasi,? ulasnya bersemangat.

Tak lain, lanjut Pawito, untuk mencapai kemandirian yang cukup terkebiri
sebagai imbas globalisasi. Pawito mencontohkan betapa masih buruknya
para pelaku usaha dalam mengomunikasikan produknya. Akibatnya, produk
tak mampu bersaing dengan barang impor. Ironisnya lagi, ketergila-gilaan
masyarakat terhadap waralaba asal luar negeri tetap membuncah.

Soal ayam goreng saja contohnya. Padahal, menurut Pawito, di Solo
sendiri jika produk ayam goreng atau bebek goreng dikomunikasikan
betul-betul dari sisi pengemasan maupun pelayanan diperbaiki, bukan tak
mungkin bakal lebih unggul ketimbang produk ayam goreng dari luar negeri.

Termasuk juga minumannya. Aneka macam minuman tradisional semacam jahe
wangi, serbat, sekoteng maupun wedang ronde, kalau dikomunikasikan
kepada publik dengan tepat, maka produk minuman dengan karakter rasa
yang kuat dan memikat itu tentu tak akan kalah dengan sederet minuman
asal luar negeri yang justru digandrungi sebagian besar masyarakat. Pun
dengan demikian, jelas akan meningkatkan kemandirian.

Itu sebabnya, Pawito menganggap semua komponen, mulai dari individu,
masyarakat dan pemerintah, harus serius mengambil peran dalam era
globalisasi ini. ?Perbaikan komunikasi menjadi salah satu kuncinya,?
saran Pawito.

Dewasa sejak belia

Meskipun tak pernah satu sekolah, letak rumah Surono, 59, yang tak
berjauhan dengan Pawito membuat keduanya akrab sejak kecil. Bahkan
sampai sekarang pun, setidaknya sebulan sekali keduanya masih bersua.

?Meskipun sekarang sibuk, Pak Pawito selalu menyempatkan silaturahmi ke
rumah,? ujar lelaki yang sehari-harinya berjualan kelontong itu saat
ditemui Espos di kediamannya RT 15/RW III Kelurahan Bendan, Banyudono,
Boyolali, akhir bulan lalu.

Dikatakan Surono, hal yang paling mengesankan selama bersahabat dengan
Pawito adalah sikapnya yang dewasa sejak belia. Itu sebabnya, Pawito
menjadi penasihat setia teman-teman sebayanya.

Saat asyik bermain, Pawito menurut Surono, paling sering mengingatkan
dan dan teman sebaya lainnya untuk salat tepat waktu. Selain juga paling
sering mengajak teman-teman bermainnya seusai Magrib untuk mengaji.

?Tak hanya prestasi di sekolahnya saja yang bagus, Pawito juga dulu
paling rajin ngaji,? ujarnya.

Kalau soal bermain, lanjut Surono, karena letak rumah mereka tak jauh
dari Umbul Pengging, renang menjadi olah raga favorit. Selain itu,
Pawito juga paling senang berpetualang menyusuri lereng gunung sejak SMP.

Sebagai sohibnya, Surono juga turut gandrung hobi itu. Lereng Lawu dan
Merbabu yang kerap menjadi sasaran petualangan mereka.

Soal kesederhanaan hidup, menurut Surono juga yang tak pernah lekang
dari sosok sahabatnya itu. Salah satunya, terlihat setiap harinya saat
berangkat ke kampus, Pawito lebih senang naik sepeda motor atau bus
ketimbang naik mobil.

?Malah tidak punya mobil, kalau mau pergi bersama keluarga biasanya
nyarter,? tuturnya.

Di usia yang sama-sama tak lagi muda, Surono berharap persahabatan yang
terjalin sejak kanak-kanak akan bertahan dan kesuksesan lainnya akan
tetap menyertai sahabatnya itu.

Dikenal lewat tulisan

Mahasiswa yang memiliki talenta khas ketimbang lainnya biasanya
relatif akan lebih dikenal dosen ketimbang yang biasa-biasa saja. Tak
terkecuali Pawito.

Drs Mursito BM SU, dosen Pawito saat tingkat IV yang kini juga menjadi
rekan kerjanya di FISIP UNS, juga mengenal Pawito dari namanya yang
kerap muncul di koran bersama artikel-artikelnya. ?Jadi saya lebih
mengenalnya bukan karena saya mengajarnya di kelas tetapi justru dari
tulisannya terlebih dahulu,? ungkapnya saat ditemui Espos di rumahnya,
Jl Pajajaran Utara II/5 Sumber, Solo, Minggu (7/2).

Apalagi, lanjut Mursito, di kalangan mahasiswa saat itu menulis
merupakan sesuatu yang masih sangat jarang dilakukan. Itu sebabnya,
dosen lainnya pun banyak mengenal Pawito lewat tulisan ketimbang lewat
prestasi akademiknya. Meskipun, Pawito juga dikenal sebagai mahasiswa
yang memiliki orientasi akademik tinggi. Termasuk setelah menjadi dosen.
Orientasi untuk menyisihkan sedikit demi sedikit sebagian hasil
honorarium tulisannya untuk naik haji, menurut Mursito juga sangat
tinggi. ?Saya salut dengan penyikapannya yang demikian,? ujarnya.

Diungkapkan Mursito, di kalangan rekan sejawat, Pawito dikenal sebagai
dosen yang religius dan tidak neka-neka. Konsistensi dalam menjalankan
agama begitu tercermin dalam setiap tindakan dan gerakan yang dilakukan
oleh Pawito.

Setelah menyandang gelar profesor, Mursito berharap karya-karya dan
penemuan-penemuan ilmiahnya akan terus mengalir deras. Pasalnya, tambah
Mursito, tantangan dari dunia luar semakin hari semakin berat. Otomatis,
tantangan berat pula bagai para akdemisi bagaimana mengaitkan dunia
akademis dengan praktek di kehidupan nyata dengan tetap membalutnya
dalam nilai-nilai moral. ?Semoga akan terus produktif dan
konsisten,?pungkasnya.

8 respons untuk ‘Prof Drs Pawito PhD Profesor komunikasi yang mantan koki

    Isbandi Sutrisno said:
    Oktober 29, 2010 pukul 5:44 pm

    Sebagai mahasiswa Prof. Pawito di Program Pasca Ilmu Komunikasi UNS Surakarta, banyak hal menarik dari pribadi beliau adalah selain sederhana, ramah, perhatian, juga ngayomi dan menyejukkan. Selalu menyisipkan “bahasa canda” menjadi ciri khas beliau. Serius tapi santai, begitulah Prof. Pawito. Semoga beliau sekeluarga selalu sehat sejahtera. Amiin.

    SMP Negeri 1 Delta Pawan Kab. Ketapang said:
    Maret 5, 2011 pukul 5:07 pm

    Sebagai panutan generasi muda untuk memajukan bangsa, mas Pawito selalu ramah, santun sama orang tua bahkan sama anak kecil ( tokok yang saya kenal sejak kecil sama-sama mandi di sungai belakang rumah mas Pawito.

    habib said:
    Maret 23, 2011 pukul 11:59 am

    stuju…..pak Pawito orgnya cerdas jg sederhana.spintas saya lihat saat menjadi narasuber Mukernas II di STAIN Kediri. saat tu saya sgt ngebet bget jadi org pintr.minta do’anya ya pak,mga sya juga bisa jadi professor seprti bapak

    habib said:
    Maret 23, 2011 pukul 12:02 pm

    stuju…..pak Pawito orgnya cerdas jg sederhana.spintas saya lihat saat menjadi narasuber Mukernas II di STAIN Kediri. saat tu saya sgt ngebet bget jadi org pintr.minta do’anya ya pak,mga sya juga bisa jadi professor seprti bapak
    Balas

    Yahya Firsad said:
    April 28, 2011 pukul 6:58 am

    Assalamu’alaikum Prof. Pawito, kami masih ingat dan sangat terkesan dengan bapak saat menjadi mahasiswa hingga bimbingan skripsi dan pendadaran oleh beliau pada tahun 1995 lalu, Prof. Pawito merupakan figur yang sederhana dan amat mengesankan. Terimakasih prof…., doa dan salam dari kami mahasiswa D.02890093 Yahya Firsad. Semoga panjang umur, sehat wal afiat, dan bahagia selalu…. amin. (yahyafirsad@yahoo.com). Wassalam.

    Zainal Abidin said:
    Desember 6, 2011 pukul 7:31 am

    Tolong kirimkan biografinya Duryatin Amal!

    bobby said:
    Januari 19, 2014 pukul 11:52 am

    Beliau sekarang sudah menjadi dekan di FISIP Universitas Sebelas Maret. dan selalu amat sangat rendah hati dan ramah pada siapapun. Tetap berkarier Prof. Pawito. Anda adalah salah satu sosok panutan bagi saya pribadi.

    Theresia said:
    Maret 5, 2014 pukul 5:22 pm

    Saya bersyukur sekali mendapat pembimbing skripsi yang sangat baik, seperti Pak Pawito, hampir saja saya menyianyiakan kesempatan itu karena kemalasan saya, tapi dengan ketegasan Beliau memberi semangat dan membuat saya bangkit. Puji Tuhan saya memiliki dosen pembimbing yang perduli dengan anak didiknya..malah saking ramahnya, Beliau pernah menawarkan saya ngemil sosis solo saat konsultasi skripsi …dan itu sangat berkesan dalam hati saya. Bapak, saya akan selalu berdoa pada Tuhan mudahan Bapak selalu sehat dan dapat mengemban tanggung jawab sebagai Dekan yang baik dan bijaksana bagi FISIP UNS tercinta
    GBU .. from Theresia

Tinggalkan Balasan ke Yahya Firsad Batalkan balasan